JIWA RAGAKU DEMI KEMANUSIAAN

Rabu, 25 Maret 2009

Kompetisi Kerja


PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

Oleh : BRIPTU ARTIKA NOVIYANTI

( Polwan Gegana Sat Brimobda Riau & Mahasiswi Psikologi UIR )

Tanpa disadari persaingan lazim terjadi, termasuk di dalam dunia kerja. Dapat kita lihat ada orang yang lancar dalam bersaing tapi ada juga yang tak pernah lepas dari problem persaingan tersebut. Lalu, bagaimana sebenarnya cara bersaing yang sehat? Menurut seorang Psikolog Theresia Kusumaningtyas, S.Psi., bersaing sehat itu adalah bersaing dengan diri sendiri tanpa memikirkan kinerja orang lain. Maksudnya adalah membandingkan kinerja diri sendiri yang sekarang dengan kinerja sebelumnya untuk peningkatan potensi diri.

Persaingan dapat dikelompokkan menjadi 2 ( dua ) bagian yaitu : achievement dan kompetisi. Dalam konteks achievement, persaingan dilakukan untuk mencapai hasil maksimal dalam suatu organisasi / kantor tanpa ada yang merasa dirugikan. Sedangkan dalam konteks kompetisi, ada pihak yang menang dan kalah.

Lalu, darimana munculnya persaingan di dalam perkantoran dan organisasi? Sering kita mendengar motto kebersamaan dan kekompakan untuk meningkatkan kinerja dalam suatu organisasi, tumbuh harapan maju sama-sama, mundur juga sama-sama. Tapi sayangnya, semboyan yang baik itu sering diterjemahkan secara keliru. Misalnya karena ada individu yang kerjanya sudah bagus, maka individu yang lain tidak perlu bekerja secara maksimal. Agar karakter tersebut tidak melembaga, dibuatlah budaya kompetisi sehingga muncul yang namanya penugasan, perbandingan kinerja, penilaian ( rapor ), dll.

Bersaing sehat menuntut evaluasi dan kejujuran pada diri sendiri. Ketika menargetkan sesuatu, apakah niatnya murni ingin meningkatkan potensi diri atau menjatuhkan orang lain. Kalau seseorang fokus untuk meningkatkan kemampuan diri, pasti tidak akan sempat berpikir untuk menjatuhkan orang lain sehingga bersikap cuek.

Hal ini membuat orang tersebut terkesan egois. Tapi, manusiawi bila orang merasa dirinya lebih baik ketika melihat orang lain tidak mampu dari dirinya. Dia menikmati self esteem-nya ( jati diri ) dan konsep dirinya sangat butuh dikuatkan. Ketika bisa melihat dirinya lebih daripada orang lain, dia merasa senang. Akhirnya dia dibentuk oleh lingkungan. Kalau lingkungannya mendukung, dia bisa bekerja dengan bagus. Sebaliknya, kalau lingkungan tidak mendukung, dia drop. Kalau seseorang menyadari hal itu, dia takkan merasa benar sendiri dan rela memberi kepercayaan pada orang yang juga berkompeten.

Meski menetapkan target dan siap bersaing dengan diri sendiri bukan berarti menutup diri dari penilaian orang lain, terutama atasan. Setiap orang dituntut open minded ( terbuka ) untuk memperkaya pemahaman dan wawasan dalam memandang persoalan serta kondisi. Orang yang cerdas emosinya akan memanfaatkan kelebihan orang lain untuk keuntungan dirinya dan tempat kerja / organisasi.

Di mata Theresia Kusumaningtyas, S. Psi., persaingan sehat bisa diembuskan dari Pimpinan. Misalnya dengan menciptakan sistem dimana pengukuran kinerjanya jelas. Atasan dapat mengatakan “Kamu lihat pekerjaan rekanmu lebih baik, tepat waktu dan tanpa kesalahan”. Sebaiknya jangan mempersoalkan masalah kepribadian. Kalau ingin menciptakan iklim yang sehat, Pimpinan harus dapat menghargai setiap kemajuan bawahannya. Setelah itu, harus menciptakan transparansi informasi.

Kemudian, jangan ada orang-orang tertentu yang terlalu merasa menguasai informasi. Atasan perlu mengenal anak buahnya satu persatu. Sehingga tahu latar belakang anak buah dan bagaimana cara memberi motivasi.

Bersaing sehat yang diutarakan disini bersifat universal. Bahkan, untuk organisasi masa depan ketika iklim persaingan makin ketat. Kita ambil perbandingan besar, Negara yang transparan dan punya ukuran jelas lebih maju daripada Negara yang mempunyai banyak peraturan. Hal ini dapat kita lihat pada Negara yang fanatik dengan agama mayoritas seperti India, Filipina, dll tidak lebih maju dibandingkan dengan Negara yang terbuka dan menumbuhkan benih achievement.

Namun, adakalanya kita terjebak oleh penilaian bukan fakta. Penilaian sangat didasarkan pada ukuran subjektivitas. Contohnya bila seorang sudah melaksanakan tugas dengan baik, masih bisa dikejar dengan pertanyaan : Baik menurut siapa?

Untuk itu perlu ditanamkan nilai-nilai atau akar. Jadi, kalau di rumah paradigma mengalahkan orang lain sudah berakar, maka akan terbawa sampai ke kantor. Begitu juga sebaliknya, kalau akar seseorang gemar menolong dan mengembangkan diri, otomatis dimanapun dia berada akan melakukan hal yang sama. Inilah yang disebut dengan integritas. Kalau niat seseorang untuk menjadi manajer, itu bukan cita-cita, yang benar adalah bisa membuat orang lain bekerja lebih baik dan mengembangkan potensinya.

Jadi, tidak perlu merasa rugi memberi informasi yang dibutuhkan rekan kerja. Kejadian ini kerap terjadi dalam dunia perkantoran karena takut tersaingi. Secara legal, kita tidak melanggar, tapi secara etis kita menjegal dan membatasi hak rekan untuk memperoleh informasi. Selain itu, jika berhasil dalam suatu tugas, jangan merasa semua itu berkat diri sendiri. Camkanlah, ada kontribusi orang lain yang mendukung keberhasilan kita, baik pihak keluarga, rekan kantor dan lingkungan sekitar. Ucapkanlah terimakasih atas bantuan berbagai pihak. Budaya seperti inilah yang mestinya ditularkan dalam organisasi.


Salam Sukses...!!

Tidak ada komentar: